Menjaga Denyut Energi dari Bumi Lancang Kuning: Riau, Jantung Migas Indonesia yang Tak Pernah Padam

Oleh  : Diana Sari 

PEKANBARU — Fajar baru saja menyingsing di atas langit Riau. Di kejauhan, kabut tipis menari di antara deretan menara pengeboran minyak yang menjulang di tengah hamparan kebun sawit. Dentuman halus mesin-mesin berat menjadi musik pagi di Blok Rokan—wilayah kerja migas yang tak pernah tidur. Dari sinilah, sebagian besar energi negeri ini dipompa keluar dari perut bumi, mengalir ke pipa-pipa panjang yang menembus batas provinsi, hingga akhirnya menghidupkan lampu-lampu kota di seluruh Indonesia.

Riau bukan sekadar penghasil minyak. Ia adalah urat nadi energi nasional, menyumbang lebih dari 30 persen produksi minyak Indonesia. Sejak zaman Belanda, tanah Lancang Kuning telah menjadi saksi bagaimana minyak mentah membawa peradaban baru di pedalaman Sumatera. Kini, di era modern, peran itu tak berubah bahkan semakin krusial.

Investasi yang Bangkit dari Kelesuan

Laporan terbaru Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) memberi kabar baik. Dalam enam bulan pertama 2025, realisasi investasi hulu migas menembus US$ 7,19 miliar, naik 28,6 persen dibandingkan periode sama tahun lalu. Jika tren ini bertahan, hingga akhir tahun investasi diperkirakan mencapai US$ 16,5–16,9 miliar, tertinggi dalam satu dekade terakhir.
“Upaya memperbaiki iklim investasi yang dilakukan pemerintah kini membuahkan hasil,” ujar Kepala SKK Migas Djoko Siswanto, saat ditemui di Pekanbaru. “Investor kembali percaya bahwa masa depan energi Indonesia masih menjanjikan.”

Kepercayaan itu tak lahir tiba-tiba. Dalam sembilan tahun terakhir, industri migas Indonesia sempat terpuruk. Tahun 2020 menjadi titik terendah, ketika pandemi Covid-19 menghantam keras sektor energi global. Investasi hulu migas anjlok menjadi US$ 10,5 miliar, terendah sejak 2015. Namun, sejak 2021, grafiknya menanjak kembali, menandai kebangkitan perlahan tapi pasti.

Peningkatan ini juga tercermin dari penilaian investor attractiveness versi S&P Global, yang naik menjadi skor 5,35 pada 2025, setelah sempat terpuruk di bawah 4,75 empat tahun lalu. Djoko menjelaskan, kenaikan ini tak lepas dari penemuan cadangan besar di tahun 2023–2024 dan kebijakan fiskal baru yang lebih fleksibel.
“Pemerintah kini mendukung agar semua lapangan migas bisa ekonomis,” ujarnya. “Dengan model kontrak PSC New Gross Split, penghapusan PPN LNG, dan pembangunan infrastruktur gas, kita bisa lebih kompetitif.”

Rokan, Jantung yang Tak Pernah Berhenti Berdetak

Di antara berbagai blok migas di Tanah Air, Blok Rokan di Riau tetap menjadi ikon dan kebanggaan nasional. Setelah resmi dikelola PT Pertamina Hulu Rokan (PHR) sejak 2021, kawasan seluas 6.200 kilometer persegi itu kini menjadi pusat operasi migas terbesar di Indonesia.

“Blok Rokan ini bukan sekadar ladang minyak, tapi simbol ketahanan energi Indonesia,” kata Andre Wijanarko, General Manager PHR Zona Rokan. “Kami ingin memastikan produksi terus stabil demi pasokan energi nasional.”

PHR kini mengoperasikan 93 lapangan aktif dan lebih dari 12.600 sumur produksi yang tersebar di tujuh kabupaten/kota: Pekanbaru, Kampar, Bengkalis, Rokan Hulu, Rokan Hilir, Siak, dan Dumai. Dari sinilah seperempat produksi minyak nasional dihasilkan setiap harinya.

Keberhasilan itu tentu tak datang tanpa tantangan. Sumur-sumur tua yang berusia puluhan tahun menuntut inovasi dan ketekunan luar biasa. Namun di tangan para insan hulu migas, semangat itu tetap menyala.

“Sinergi antara PHR, pemerintah daerah, dan masyarakat menjadi kunci,” ujar Andre. “Hubungan yang baik inilah yang memastikan operasi berjalan lancar dan aman.”

Selain menjaga produksi, PHR juga memastikan manfaat migas kembali ke daerah. Tahun lalu, perusahaan menyerahkan Participating Interest (PI) 10 persen senilai Rp 3,5 triliun kepada Pemerintah Provinsi Riau. Sejak alih kelola dari Chevron ke Pertamina, total kontribusi PHR ke penerimaan negara mencapai Rp 115 triliun.
“Penyerahan PI ini bukan sekadar angka,” ujar Andre. “Ini bukti komitmen kami bahwa daerah penghasil harus menikmati hasil dari tanahnya sendiri.”

Dari Sumur ke Sekolah, dari Energi ke Pemberdayaan

Namun industri migas tak hanya tentang angka dan produksi. Di balik pipa dan sumur, ada kehidupan masyarakat yang juga mengalir. Di berbagai pelosok Riau, nama PHR kini dikenal bukan hanya karena minyak, tetapi juga karena program Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan (TJSL) yang menyentuh langsung kebutuhan warga.

Empat pilar utama pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan lingkungan menjadi fokus PHR dalam mengembalikan energi positif kepada masyarakat. Hingga kini, lebih dari 32 ribu orang telah merasakan manfaatnya.

Salah satu yang paling populer adalah Program Magang Kerja Putra-Putri Riau, yang kini memasuki angkatan keenam. Sebanyak 600 anak muda telah ditempa di lingkungan kerja PHR untuk menjadi generasi penerus industri migas.

“Kami ingin anak-anak Riau tak hanya jadi penonton,” tutur Andre. “Mereka harus menjadi bagian dari penggerak energi bangsa.”

Di tengah ladang minyak yang bergemuruh, kisah seperti ini menjadi sisi lain dari industri yang kerap dianggap keras dan mekanis. Ada sentuhan kemanusiaan di balik setiap tetes minyak yang dihasilkan.

images (7).jpeg

Membangun Ketahanan Energi dari Utara

Sementara itu, di tingkat regional, SKK Migas Perwakilan Sumatera Bagian Utara (Sumbagut) terus memperkuat koordinasi dengan seluruh Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di wilayahnya. Tujuannya jelas: memastikan setiap potensi migas di Sumatera bisa dimaksimalkan untuk mendukung ketahanan energi nasional.

Pemetaan dan perencanaan matang menjadi agenda utama. Di awal 2025, SKK Migas Sumbagut menggandeng seluruh KKKS untuk menyusun strategi bersama menghadapi target ambisius peningkatan produksi nasional.
“Setiap insan hulu migas punya tanggung jawab besar untuk mengoptimalkan potensi sumber daya,” ujar seorang pejabat SKK Migas wilayah Sumbagut. “Karena dari sinilah, kemandirian energi Indonesia dibangun.”

Menyalakan Api untuk Masa Depan

Di tengah segala optimisme itu, ada kesadaran yang terus tumbuh: minyak dan gas tak akan abadi. Tapi selama energi fosil masih menjadi tumpuan utama, peran industri hulu migas tetap vital.

Riau, dengan sejarah panjangnya sebagai penghasil minyak, kini berada di persimpangan antara masa lalu dan masa depan energi. Pemerintah dan pelaku industri sepakat, transformasi menuju energi bersih harus berjalan beriringan dengan optimalisasi sumber daya yang ada.

“Ketahanan energi bukan sekadar tentang produksi,” kata Djoko Siswanto. “Ini tentang bagaimana kita menjaga keberlanjutan—ekonomi, sosial, dan lingkungan.”

Dan di situlah makna terdalam industri ini: menjaga nyala api bukan hanya di pipa dan kilang, tetapi juga di hati mereka yang bekerja di baliknya para operator, teknisi, insinyur, dan warga yang hidup berdampingan dengan ladang-ladang minyak.

Ketika malam tiba di Rokan, lampu-lampu di sekitar rig masih menyala terang. Suara mesin tak berhenti, menandakan kehidupan yang terus bergulir. Di bawah langit Sumatera, para pekerja migas berjaga menjaga energi negeri agar tetap menyala, dari Bumi Lancang Kuning untuk Indonesia.

TERKAIT